Selasa, 15 Maret 2011

My first Prose!

Well, i often create a poem. All the poems i keep in a book so that anyone can enjoy it. I also once create scripts about a prince and a princess.  Last night, i tried to create a prose in bahasa and i hope everyone can enjoy it, too.

Mata (Hati)

Aku sudah lama bertanya kepada hati kecil, yang katanya lebih bijak dari orang bijak mana pun, tentang siapa yang harus memulai, siapa yang harus bertahan, siapa yang harus mengakhiri, dan siapa yang harus menunggu. Jawabannya selalu sama. Diam atau teruskan. Biasanya aku akan memilih diam untuk hal-hal yang masih sanggup untuk dijamah dan ‘teruskan’ untuk sesuatu yang entah mengapa akan sulit untuk diraih dan sebenarnya aku tahu akan bagaimana akhirnya nanti.
Kali ini, firasat yang biasanya mencuat sebelum ditemukan, tidak kunjung muncul. Aku cemas sekaligus penasaran. Untuk pertama kalinya, aku melangkah tanpa tahu harus kemana arahnya dan dimana tujuannya. Aku mengumpulkan semua keberanianku sambil menghela napas panjang. Pintu kaca yang ada dihadapanku begitu menggoda sekaligus menakutkan. Menggoda karena hal-hal yang tidak diduga pasti akan terjadi, menakutkan karena aku akan kembali ke perjalanan waktu yang panjang, yang bahkan tidak akan pernah mau diingat oleh penderita Alzheimer sekalipun. Aku mendorong pintu itu dengan perlahan, melangkahkan kaki memasuki tempat itu untuk pertama kalinya sejak tujuh tahun yang lalu. Kenangan yang telah lama tidur seolah-olah bangun, aku kembali menghela napas. Ragu.
Mataku pun menyapu seluruh ruangan. Kemudian fokusnya terhenti pada satu titik dimana menurutku disitu adalah sudut terbaik yang ada di tempat ini. Aku pun menghampiri sofa yang ada di sudut tempat ini. Sekali lagi memandangi tempat ini tanpa berkedip. Jantungku berdesir dan pikiranku seolah merongrong jiwa ini meminta mengembalikan seluruh kenangan. Tempat ini masih sama seperti saat pertama kali aku datang. Tempatnya tidak terlalu besar, dindingnya yang terbuat dari kayu oak yang khas, sofa-sofa coklat dan empuk, dan papan bertuliskan “Destiny Coffee Shop” yang terpajang di gantung di meja kasir dan terlihat rapuh. Dulu, aku hanya tersenyum geli mendengar nama tempat ini, tapi setelah mendengar cerita dibalik nama tersebut, aku malah terdiam dan berharap. Menurut para barista, tempat ini merupakan biro jodoh terbaru dan terbaik yang ada di sekitar sini. Banyak sekali pasangan yang memulai kisahnya disini dan kembali lagi ke tempat ini setelah beberapa tahun dan ternyata mereka masih bersama hingga sekarang. Aku pun tidak akan pernah lupa kejadian tujuh tahun yang lalu di tempat ini, pertama kalinya mengenalmu lebih dalam, seseorang yang telah lama bersama denganku tapi tak pernah jelas bagaimana bentuk relasi dan refleksinya. Dalam hati aku bertanya, “apa kabar si kelambu jiwa?”
Seseorang barista menghampiriku, kemudian memberikan daftar menu yang ternyata sudah banyak berubah setelah lama aku tinggalkan. Untungnya, minuman favoritku, Vanilla Milkshake, masih ada dalam menu. Begitu pun minuman favoritmu, Chocolate Grande. Sekali lagi aku tersenyum sendiri. Aneh sekali. Kita sama-sama sering menghabiskan waktu disini, tapi tak satu pun yang memesan kopi sebagai minumannya. Aku teringat kamu berkata, “Kopi dan coklat itu berteman. Kalau saya membeli coklat, kopi pasti tidak akan keberatan!”. Dalam kegembiraan kenangan, aku menghampiri seorang barista untuk memesan minuman. Kemudian terduduk lagi, menunggu sesuatu yang entah kenapa aku yakin pasti akan terjadi.
***
Hari sudah mulai gelap. Rintik-rintik gerimis pun turut hadir menyemarakkan suasana hati yang kosong. Tak terasa nostalgia yang tanpa basa-basi itu semakin memendamkan harapan yang sudah aku bangun sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Ini kedua kalinya aku merasakan . Jantungku masih berdebar, hati kecil ini masih berbisik ‘teruskan’, namun firasat yang sudah sejak tujuh tahun aku tunggu belum juga datang. Sebenarnya saat ini aku resah, entah untuk alasan apa. Ada sesuatu yang mendorong keraguan keluar dari sangkarnya dan harapan yang malu-malu itu pun kembali timbul. Aku masih terduduk di sudut dan sofa yang sama. Kemudian keramaian tempat ini menutupi teriakan pikiranku. Hening dalam hati.
Vanilla Milkshake yang aku pesan sudah tiba. Tanpa ragu aku seruput lagi putih itu dari gelas dan merasakan sensasi kenangan yang luar biasa untuk kesekian kalinya. Aku memejamkan mata sejenak, merasakan gurihnya susu dan manisnya vanilla yang merajai lidah yang mulai kelu ini. Kemudian, kubuka mataku setelah sensasinya perlahan menghilang. Seolah ditusuk dari belakang, aku melihatmu. Kamu berada di hadapanku, lengkap dengan chocolate grande yang ada di atas meja dan sebuah senyuman yang mampu membaca tingkahku dan menelanjangi keinginanku untuk segera mengamatimu.
“Apa kabar?”, katamu dengan nada canggung tapi tidak tampak sedikit kecanggungan di matamu.
“Baik. Sudah lama tidak bertemu.” Kataku basa-basi kemudian menoleh ke luar jendela.
Hening seketika. Namun dari sudut mataku, aku tahu kamu masih mengamatiku. Menunggu sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku katakan atau lakukan.
“Katakan.”, katamu sambil tersenyum nakal seolah mengetahui sesuatu di dalam liarnya pikiranku.
Perhatianku teralihkan. “Apa?”,kataku bertanya sambil mengamati lagi mata, hidung, dan bibir yang dulu pernah aku kagumi dan masih kukagumi hingga sekarang. Matamu masih indah. Mata paling indah yang pernah aku lihat. Cahayanya begitu menyayat hatiku dan langsung mengunci gerakan-gerakan tubuhku. Tapi itu dirimu. Itulah sensasi dari dirimu yang aku suka.
“Sudah tidak banyak waktu lagi.”, katamu tiba-tiba. Kemudian wajahmu mendekat, menyentuh pipiku seketika. Terlihat jelas wajahmu yang tenang dan pancaran matamu yang begitu meluluhkan tapi terlihat lemah sekarang. Kemudian tercipta jarak diantara kita. Aku kembali merebahkan diriku ke sofa, begitu pun kamu. Terlalu lelah dengan apa yang kita jalani selama tujuh tahun ini. Aku membohongi diri sendiri, begitu pun kamu. Alunan musik yang sama seperti tujuh tahun lalu pun menambah kelelahan kita akan memori masa lalu.
Segelas Chocolate Grandemu sudah habis. Aku pun kembali menyeruput milkshake yang tersisa dari sudut-sudut gelasku. Kamu kembali mendekat. Dengan terang-terangan mengamati wajahku dan mendekatkan bibirmu ke telingaku. “saya merindukanmu dan akan terus merindukanmu.”
Tubuhku kaku. Lidahku kelu. Benda transparan itu mulai membasahi mataku. Kemudian, kamu menyentuh lagi pipiku yang sudah mulai basah dengan tangan kananmu. Aku pejamkan mata untuk merasakan setiap kelembutan sentuhan tanganmu. Butir-butir transparan itu semakin membuncah ketika aku merasakan sesuatu di tangan kananmu. “Maaf ya, saya sudah menikah.”
Rasanya aku ingin segera membuka mata. Menatap wajahmu yang penuh senyuman dan mendengar renyahnya tawamu yang menyatakan kalau itu hanya gurauan belaka. Tetapi tidak bisa terbuka. Kelopak mata ini begitu rapatnya seolah-olah ada lem yang sangat kuat yang menempel dan butiran-butiran transparan ini tidak mau berhenti. Setelah itu, hanya tersisa kecupan lembut di pipi. Ku beranikan diri membuka mata. Namun hanya tersisa gelas kosong dan kenanganmu yang berlalu.

*** 

Aku tidak pernah sehampa ini. Tapi pantai tempatku berlabuh dulu sudah tersapu ombak besar dan tak mungkin kembali lagi seperti semula. Saat itu, terakhir kali aku mengunjungi coffee shop itu. Dan tidak akan pernah ada lagi coffee shop, sofa coklat, vanilla milkshake, dan chocolate grande yang lain. Dan tidak pernah lagi ada gerimis yang punya makna, dan tidak pernah ada lagi kita yang tersenyum, apalagi saling memandang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar